Proses mitigasi, termasuk edukasi kebencanaan, kembali mengemuka setelah gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang wilayah Zhanzhul hingga sebagian Jabodetabek dan Banten pada Senin (21/11) siang.

 

Setidaknya 12 distrik di kabupaten tersebut terkena dampak gempa yang berpusat di Chanzhu. Hingga Kamis (24/11) sore, BNPB mencatat total korban bencana mencapai 272 orang, dengan hanya 162 orang yang teridentifikasi. Tiga puluh sembilan warga masih dilaporkan hilang akibat gempa berkekuatan 5,6.

 

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, sistem pendidikan Indonesia harus menyesuaikan dengan situasi di mana Indonesia termasuk dalam wilayah “Ring of Fire” atau rawan bencana alam.

 

Menurutnya, peluang bencana alam di Indonesia cukup tinggi untuk tidak dimitigasi dengan hanya menambahkan materi kebencanaan ke dalam kurikulum. Karena menurutnya, masalah utama terletak pada sistem pendidikan.

 

“Sistem pendidikan nasional harus dirombak. Perombakan total sesuai situasi Indonesia. Bukan hanya penambahan materi, bukan kurikulum saja. Bukan masalah di situ, sistem pendidikannya,” kata Indra dalam wawancara. CNNIndonesia.com, Rabu (23/11).

 

Baca Juga : Jasa Publikasi Jurnal Internasional

 

Menurutnya, selama ini pemerintah belum benar-benar memiliki konsep melindungi seluruh negeri dan Indonesia dari segala pertumpahan darah, padahal nusantara merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia, salah satunya karena Indonesia. berada di Cincin Api Pasifik (ring of fire).

 

“Jadi bukan berarti kalau ada bencana alam kita akan berusaha mengendalikannya. Manusia tidak mungkin bisa mengendalikannya. Tapi, dengan teknologi, kemampuan berpikir kita harus bisa belajar hidup dengan alam, dan itulah kami di ring of fire,” karena kata Toro.

 

“Pengurangan bencana adalah bagian dari kurikulum karena itu hidup kita,” lanjutnya.

 

Khusus untuk wilayah Cianjur sendiri, Indra mengatakan wilayah tersebut rawan bencana karena adanya gunung berapi dan sesar Cimandiri.

 

Dikatakannya, ketika gempa Cianjur dirasakan bersamaan dengan gempa Cianjur saat rapat dengar pendapat Panitia Kelima dengan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (RDP) mencerminkan bukti nyata pentingnya pendidikan dan sistem pendidikan. pengurangan risiko bencana di Indonesia (BMKG ) dan Bassanas.

 

Wakil Ketua Komisi V Roberth Rouw yang memimpin rapat saat itu terekam tertawa terpingkal-pingkal dan tidak mengambil langkah mitigasi karena Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dan jajarannya bersembunyi di bawah meja.

 

“Anggota DPR di pimpinan pun tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika ada gempa. Apakah kita yakin masyarakat miskin, pedesaan, pelosok tahu? Jadi masalahnya bukan kurikulumnya, tapi sistem pendidikan negara kita yang konyol,” kata Toro.

 

Menurutnya, pemerintah tidak pernah berupaya untuk memberikan pendidikan tentang bagaimana hidup di Indonesia. Pendidikan, kata dia, adalah muara untuk membenahi sistem yang sudah kacau.

 

“Jadi bukan kurikulumnya saja yang harus dikoreksi oleh sistem pendidikan nasional kita. Ujung-ujungnya kalau soal kurikulum, kita cetak buku lagi, kita memang tidak punya konsep yang memang kita tahu harus melindungi seluruh Indonesia,” ujarnya.

 

Salah satu cara untuk melindungi negara, jelas Indra, adalah dengan memberikan edukasi bahwa Indonesia adalah wilayah Ring of Fire, situasi yang membuat Indonesia menjadi negara yang rawan gempa.

 

“Edukasi kepada mereka bahwa daerah yang kita tinggali seperti ini, banyak terjadi, maka itu yang harus dilakukan,” kata Indra.

 

Kemudian, saat rumah tersebut dibangun, pihak berwenang melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa bangunan tersebut tidak membahayakan siapa pun jika terjadi gempa. Konsep ini telah diterapkan di beberapa negara.

 

“Kami tidak, SDM-nya terlalu lemah,” kata Indra.

 

“Jadi benar-benar lingkaran setan dan ujung-ujungnya harus dimulai dari pendidikan juga. Bagaimana mencerdaskan bangsa,” imbuhnya.

By roket